Rabu, 28 Maret 2012

PENDAHULUAN



PSIM. kependekan dari Persatuan Sepak Bola Incridible Mataram adalah sebuah klub sepak bola di Ngayogyakarta yang didirikan pada 5 September 1929 dengan nama awal Persatuan Sepakraga Mataram (PSM). Nama Mataram digunakan karena Yogyakarta merupakan pusat pemerintahan kerajaan Mataram (Ngayogyakarta Hadiningrat). Kemudian pada tanggal 27 Juli 1930 nama PSM diubah menjadi PSIM seperti yang dikenal sekarang. Salah satu pemain PSIM yang menjadi legenda bagi sepak bola Indonesia adalah R. Maladi yang merupakan kiper PSIM dalam kompetisi Perserikatan 1931.

Saat ini PSIM berlaga di Kompetisi Ngayogyakarta Premier League, dengan pelatih Maman Durachman. PSIM memiliki kelompok suporter yang bernama Brajamusti (Brayat Jogja Mataram Utama Sejati).

|} |} Sejarah terbentuknya PSIM dimulai pada tanggal 5 September 1929 dengan lahirnya organisasi sepak bola yang diberi nama Perserikatan Sepak Raga Mataram atau disingkat PSM. Nama Mataram digunakan karena Yogyakarta merupakan pusat kerajaan Mataram. Kemudian pada tanggal 27 Juli 1930 nama PSM diubah menjadi Perserikatan Sepak Bola Indonesia Mataram atau disingkat PSIM sebagai akibat tuntutan pergerakan kebangsaan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. PSIM sendiri saat itu sesungguhnya merupakan suatu badan perjuangan bangsa dan Negara Indonesia.

Pada tanggal 19 April 1930, PSIM bersama dengan VIJ Jakarta, BIVB Bandung, MIVB (sekarang PPSM Magelang), MVB (PSM Madiun) SIVB (Persebaya Surabaya), VVB (Persis Solo) turut membidani kelahiran PSSI dalam pertemuan yang diadakan di Societeit Hadiprojo Yogyakarta. PSIM dalam pertemuan tersebut diwakili oleh HA Hamid, Daslam, dan Amir Noto. Setelah melalui perbagai pertemuan akhirnya disepakati berdirinya organisasi induk yang diberi nama Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia (PSSI) pada tahun 1931 dan berkedudukan di Yogyakarta.

Sejak tahun itu pulalah kompetisi tahunan antar kota/perserikatan diselenggarakan. Dalam kompetisi perserikatan, PSIM pernah menjadi juara pada tahun 1932 setelah dalam pertandingan final di Jakarta mengalahkan VIJ Jakarta. Selanjutnya PSIM berkali -kali hanya dapat menduduki peringkat kedua setelah kalah dalam pertandingan final kompetisi perserikatan pada tahun 1939, 1940, 1941, 1943, dan 1948.

Sejak Liga Indonesia bergulir pada tahun 1994, prestasi PSIM mengalami pasang surut yang ditandai dengan naik turunnya PSIM dari divisi utama ke divisiI Liga Indonesia. PSIM pernah mengalami degradasi pada Liga Indonesia 1994/1995 dan promosi dua tahun kemudian. Setelah bertanding selama tiga musim di divisi utama, PSIM kembali harus terdegradasi ke Divisi I pada musim kompetisi 1999/2000.

Tiga tahun kemudian pada Divisi I Liga Indonesia 2003 PSIM baru bangkit dan membidik target untuk promosi dengan persiapan tim yang matang. Di babak penyisihan PSIM bahkan dua kali mengkandaskan tim favorit Persebaya Surabaya dalam pertandingan tandang kandang dengan skor telak 3-1, dan 3-0, dan menjuarai Grup C. Sayangnya keperkasaan PSIM semakin lama semakin luntursehingga gagal melanjutkan dominasinya pada babak 8 besar yang berlangsung dengan kompetisi penuh. PSIM yang sejak awal memimpin klasemen harus puas berada di peringkat ke-4, dan berkesempatan untuk mengikuti playoff. Di babak playoff yang dimainkan di Solo, PSIM kalah bersaing dengan Persela Lamongan hanya karena perbedaan jumlah gol.

Akhirnya, pada tahun 2005 PSIM berhasil lolos ke kasta tertinggi liga indonesia setelah keluar sebagai juara divisi I yang dalam pertandingan final mengalahkan Persiwa Wamena di stadion Si Halak Harupat Bandung dengan skor 2-1. Mulai 2010 PSIM semakin eksis di kancah sepakbola nasional dengan prestasi yang semakin meningkat dan akhirnya mulai kompetisi 2011/2012 PSIM telah menjadi tim profesional yang tidak lagi mengandalkan dana dari APBD.

ANTARA BRAJAMUSTI, SLEMANIA, DAN PASOEPATI

Pasoepati Jan**k, Slemania A**.. Begitulah serangkaian kata dan teriakan yang sering kita dengar saat menonton PSIM Yogyakarta berlaga di Mandala Krida. Pertanyaannya, apakah memang sudah menjadi kebiasaan? Ataukah kita memang sadar dan mengerti mengapa sampai kita membenci salah satu suporter lain itu? Betapa dendamkah kita sampai demikian? Jika Iya, maka wajarlah kebencian begitu terpendam. Lalu, bagaimana jika kita tidak tahu asal muasal sejarah kebencian tersebut?
Jogja istimewa, istimewa rakyat dan negerinya. Mungkin itulah sebagian lirik lagu yang bisa memaknai kehidupan istimewa kita di bumi mataram yang istimewa pula. Kerusuhan suporter sepakbola, apakah itu tetap bisa disebut sebagai sesuatu hal yang istimewa? Bagai kata pepatah, mulutmu harimaumu. Apa yang keluar dari ucapanmu, mencerminkan tingkah laku dan balasan dari oranglain terhadapmu. Jika kita memang rakyat yang istimewa, sesungguhnya perdamaian dan kenyamanan hidup di dalam suatu keberagaman adalah sesuatu yang istimewa.
Kebencian terhadap Pasoepati dan Slemania memang bukanlah sesuatu yang baru dan mungkin masih sangat terngiang hingga kini. Anehnya, bentrok terjadi bukanlah di arena sepakbola resmi seperti stadion, tetapi malah menjalar ke luar stadion seperti jalanan, daerah perbatasan, maupun tempat lain yang rawan terjadi kerusuhan. Tetapi apakah orang-orang itu tahu sejarah permusuhan? Mengapa mereka masih mempertahankan “tradisi” itu?
Sangat miris melihat anak-anak dan remaja paruh baya yang melakukan kerusuhan. Mereka masih dibilang belum mencapai tahap pemikiran dan kebijakan sebagaimana orang dewasa lainnya. Mungkin mereka belum pernah tahu apa sebab perselisihan dengan suporter lain sampai saat ini? Ataukah mereka hanya ikut-ikutan dengan suporter yang sudah dewasa? Sangat menyedihkan apabila jawabannya karena diajarkan dan menjadi bukti kalau menjadi suporter PSIM sejati, berarti harus mampu mengalahkan suporter bebuyutan. Hal inilah yang akan menjadi akar kuat bagi pemikiran mereka kelak sampai mereka tumbuh menjadi dewasa. Dan kerusuhan pun akan tetap merajalela hingga akhir hayat.
Mungkin jaman telah berubah. Tahun 1995 silam adalah masa dimana pertamakali saya diajak nonton bola di Mandala Krida menonton PSIM Jogja bertanding malam hari dalam suasana yang saya tidak paham betul saat itu. Bahkan sampai pada saat itu saya belum begitu mengerti apa itu sepakbola, suporter, dan sebagainya. Apalagi segala bentuk kerusuhan. Banyak kata orang, PSIM memang milik rakyat dan menjadi tradisi bahwa PSIM “warisane simbah”. Tradisi kuat inilah yang harus diterapkan sejak dini pada anak-anak sekarang. Bahwa PSIM sudah menjadi warisan sepakbola yang kuat dan mendukungnya juga merupakan bentuk dukungan terhadap rakyat Jogja karena memang masih menggunakan dana APBD juga. Brajamusti hanyalah wadah supporter, tidak ada PSIM maka tidak ada Brajamusti. Maka, dukungan pertama harus diawali pada kecintaan terhadap PSIM semata.
Berbeda sekali saat itu dengan saat ini. Sekarang, anak-anak pun telah tahu PSIM sebelum mereka mengerti apa itu kompetisi sepakbola dan apa manfaatnya. Lalu, mereka juga sudah tahu Brajamusti dan Maident, dan tahu juga bahwa Slemania dan Pasoepati musuh mereka, maka kelak ketika mereka akan menjadi panji-panji suporter laskar Mataram, mereka juga akan memusuhi Slemania dan Pasoepati. Keponakan saya, laki-laki baru kelas 3 SD menjadi salah satu dari sekian anak-anak yang menjadi “korban kedigdayaan” pandangan sempit ini. Dia bahkan pernah dihukum piket kebersihan selama seminggu hanya karena mengejek teman sekolahnya seorang “brajamolek” dan anak itu pun menangis. Sekolahnya yang berada di kawasan Bantul ini pun, katanya serigkali menjadi bahan pergunjingan antar teman-temannya yang juga merupakan pembela PSIM dan Persiba. Sungguh iba sekali melihatnya.
Sejak saya masih bersekolah di SSB HW sewaktu SD dulu, jarang terjadi perselisihan diantara suporter Jogja. Waktu itu saya sudah mengerti Slemania dan melihat PSS di tridadi sekalipun. Bahkan melihat juga Paserbumi berkonvoi walau masih dalam jumlah yang sedikit. Persiba pun juga pernah saya tonton, sayang sekali sudah di divisi 1, sudah pindah dari dwi windu bantul. Begitulah keasyikan menikmati permainan sepakbola tanpa memperhatikan keberagaman perbedaan kesukaan tim favorit. Sangat setuju sekali dengan pernyataan Walikota, Pak Herry bahwa salah satu tujuan PSIM juga mampu sukses membina suporter yang juga merupakan wadah sosial-kemasyarakatan, terutama ajang persatuan anak muda Jogja.
Sudah menjadi kenyataan kalau kerusuhan hanyalah menimbulkan kerugian semata. Pak Presiden Brajamusti, Eko Satrio Pringgodani pun pernah berujar bahwa kalau dengan Slemania (utara), Pasoepati (timur), kita bermusuhan dan seringkali diintervensi setiap mengadakan tour, maka harus lewat mana lagi kalau seperti Magelang (Simolodro), Cilacap (Lanus) juga ikut kita musuhi?
Sepakbola telah menjadi bagian dari kehidupan, salah satunya bagi anak muda. Konon, Indonesia menjadi no.3 setelah Brasil dan Jerman dalam antusiasme penonton sepakbola. Mungkin di negara lain, kerusuhan suporter atau yang kita kenal dengan hooliganisme bukanlah sesuatu yang baru. Di Brazil, bahkan seperti perang narkoba dan bandar mafia judi yang menggunakan senapan dan pistol. Di Negara-negara Balkan yang notabenenya negera eks Fasis dan komunis pun mengalami pertumbuhan kerusuhan suporter yang kacau (dapat dibaca selengkapnya di Buku The Land of Hooligans). Namun, setidaknya ini harus menjadi pelajaran bahwa anekdot “di luar negeri yang sepakbolanya maju saja masih sering terjadi kerusuhan, masa kita tidak boleh?” adalah anekdot yang slaah kaprah. Sebaliknya, menjadi suporter memamg wajib militan dan antuasias, tetapi tetap mengakar pada budaya, sopan, dan santun tidak merugikan sesama. Mungkin saya hanya sebagian kecil suporter sepakbola Indonesia yang beruuntung karena bisa menimba ilmu di universitas yang beragam adat dan asal muasal mahasiswa dari berbagai penjuru tanah air. DI sana, aremania, bonek, the jack, viking, termasuk saya dengan slemania dan pasoepati pun terbilang aman-aman saja bahkan tetap menjadi teman. Mungkin itulah suatu keberuntungan saya yang belum bisa dinikmati oleh oranglain. Seandainya mereka juga dalam kondisi dan situasi seperti ini, mereka akan semakin bisa memaknai kehidupan keberagaman ini tanpa harus melakukan hujatan dan teror. Merea juga teman. Ironis apabila suatu saat meilihat suporter misuh “pasoepati jan**k” tetapi dia belum pernah menikmati atmosfer Manahan dan keadaan masyrakat Solo yang sebenarnya. Mungkin sejarah memang mengatakan ada kesenjangan sejak era Pakubuwono dan Hamengkubuwono era pra kemerdekaan. Namun sungguh sempit sekali landasan pemikiran kita jika hanya berpegang teguh pada hal itu.
Jika semua berpikir demikian, rusak sudah tanah air beta yang sudah kita beri nama Republik ini. Akan banyak terjadi perpecahan dimana-mana terkait dengan etnis, budaya, dan kewilayahan. Biarkanlah yang pernah dintervensi, diinjak harga dirinya , atau bahkan dicelakai oleh suporter lain menjadi dendam kesumat pribadinya, bukan menyalurkan hasratnya untuk mengajak teman-temannya yang lain untuk menghujat suporter lain tersebut. Mungkin penyebabnya, suporter lain pun seperti teman-teman dari Slemania dan Pasoepati juga memandang dendam seperti demikian, akibatnya sama-sama menyebar ke anak-anak dan generasi selanjutnya sehingga pertikaian ini pun tak akan pernah padam.
Saya pernah menonton Persija vs PSS, Persib vs PSS tetapi untuk melihat atmosfer sepakbola yang diwarnai dengan atraktifitas suguhan suporter The Jack maupun Viking dan Bobotoh. Tetapi saat perjalanan pulang, saya dan teman diintervensi dan diludahi oleh oknum Slemania, tetapi dalam hati biarlah mereka menyimpan dendamnya untuk sesuatu yang benar dikemudian hari dan sadar akan perbedaan yang sesungguhnya itu adalah sesuatu yang membuat kita menjadi istimewa. Pantaslah kita meniru dari beberapa suporter yang mungkin kita anggap benci. Kita bisa meniru atraktifitas dan kekompakan memainkan syal dan warna biru, serta mengumandangkan lagu oleh penonton di seluruh penjuru stadion ala Aremania. Kita juga pantas meniru Bonek yang selalu mendukung tim Persebaya dimanapun mereka berada. Kita bisa meniru Slemania dalam menjalin hubungan relasi terhadap sesame suporter lain, dan sikap-sikap lain yang perlu kita buka hati kita lebih lapang sebagai ajang untuk menguji dan melihat kedewasaan kita untuk mengubah image yang lebih baik lagi. Sungguh miris apabila kita disamakan dengan anak SMA yang masih kental dengan geng sekolahnya, lalu ketika berbaur satu kuliah dengan geng musuh, malah menjadi akur. Bedanya, akankah ke-akur-an itu bisa diwujudkan oleh suporter Indonesia ini dalam suatu wadah yang tepat dan efektif? Polemik menuntut Nurdin Halid akhir-akhir sepertinya bisa menyatukan kekuatan suporter, dan seharusnya menjadi potensi besar menyatukan tekad perdamaian demi kemajuan persepakbolaan Nasional. Amien