Pasoepati Jan**k, Slemania A**..
Begitulah serangkaian kata dan teriakan yang sering kita dengar saat
menonton PSIM Yogyakarta berlaga di Mandala Krida. Pertanyaannya, apakah
memang sudah menjadi kebiasaan? Ataukah kita memang sadar dan mengerti
mengapa sampai kita membenci salah satu suporter lain itu? Betapa
dendamkah kita sampai demikian? Jika Iya, maka wajarlah kebencian begitu
terpendam. Lalu, bagaimana jika kita tidak tahu asal muasal sejarah
kebencian tersebut?
Jogja istimewa, istimewa rakyat dan negerinya.
Mungkin itulah sebagian lirik lagu yang bisa memaknai kehidupan
istimewa kita di bumi mataram yang istimewa pula. Kerusuhan suporter
sepakbola, apakah itu tetap bisa disebut sebagai sesuatu hal yang
istimewa? Bagai kata pepatah, mulutmu harimaumu. Apa yang keluar dari
ucapanmu, mencerminkan tingkah laku dan balasan dari oranglain
terhadapmu. Jika kita memang rakyat yang istimewa, sesungguhnya
perdamaian dan kenyamanan hidup di dalam suatu keberagaman adalah
sesuatu yang istimewa.
Kebencian terhadap Pasoepati dan Slemania
memang bukanlah sesuatu yang baru dan mungkin masih sangat terngiang
hingga kini. Anehnya, bentrok terjadi bukanlah di arena sepakbola resmi
seperti stadion, tetapi malah menjalar ke luar stadion seperti jalanan,
daerah perbatasan, maupun tempat lain yang rawan terjadi kerusuhan.
Tetapi apakah orang-orang itu tahu sejarah permusuhan? Mengapa mereka
masih mempertahankan “tradisi” itu?
Sangat miris melihat anak-anak
dan remaja paruh baya yang melakukan kerusuhan. Mereka masih dibilang
belum mencapai tahap pemikiran dan kebijakan sebagaimana orang dewasa
lainnya. Mungkin mereka belum pernah tahu apa sebab perselisihan dengan
suporter lain sampai saat ini? Ataukah mereka hanya ikut-ikutan dengan
suporter yang sudah dewasa? Sangat menyedihkan apabila jawabannya karena
diajarkan dan menjadi bukti kalau menjadi suporter PSIM sejati, berarti
harus mampu mengalahkan suporter bebuyutan. Hal inilah yang akan
menjadi akar kuat bagi pemikiran mereka kelak sampai mereka tumbuh
menjadi dewasa. Dan kerusuhan pun akan tetap merajalela hingga akhir
hayat.
Mungkin jaman telah berubah. Tahun 1995 silam adalah masa
dimana pertamakali saya diajak nonton bola di Mandala Krida menonton
PSIM Jogja bertanding malam hari dalam suasana yang saya tidak paham
betul saat itu. Bahkan sampai pada saat itu saya belum begitu mengerti
apa itu sepakbola, suporter, dan sebagainya. Apalagi segala bentuk
kerusuhan. Banyak kata orang, PSIM memang milik rakyat dan menjadi
tradisi bahwa PSIM “warisane simbah”. Tradisi kuat inilah yang harus
diterapkan sejak dini pada anak-anak sekarang. Bahwa PSIM sudah menjadi
warisan sepakbola yang kuat dan mendukungnya juga merupakan bentuk
dukungan terhadap rakyat Jogja karena memang masih menggunakan dana APBD
juga. Brajamusti hanyalah wadah supporter, tidak ada PSIM maka tidak
ada Brajamusti. Maka, dukungan pertama harus diawali pada kecintaan
terhadap PSIM semata.
Berbeda sekali saat itu dengan saat ini.
Sekarang, anak-anak pun telah tahu PSIM sebelum mereka mengerti apa itu
kompetisi sepakbola dan apa manfaatnya. Lalu, mereka juga sudah tahu
Brajamusti dan Maident, dan tahu juga bahwa Slemania dan Pasoepati musuh
mereka, maka kelak ketika mereka akan menjadi panji-panji suporter
laskar Mataram, mereka juga akan memusuhi Slemania dan Pasoepati.
Keponakan saya, laki-laki baru kelas 3 SD menjadi salah satu dari sekian
anak-anak yang menjadi “korban kedigdayaan” pandangan sempit ini. Dia
bahkan pernah dihukum piket kebersihan selama seminggu hanya karena
mengejek teman sekolahnya seorang “brajamolek” dan anak itu pun
menangis. Sekolahnya yang berada di kawasan Bantul ini pun, katanya
serigkali menjadi bahan pergunjingan antar teman-temannya yang juga
merupakan pembela PSIM dan Persiba. Sungguh iba sekali melihatnya.
Sejak
saya masih bersekolah di SSB HW sewaktu SD dulu, jarang terjadi
perselisihan diantara suporter Jogja. Waktu itu saya sudah mengerti
Slemania dan melihat PSS di tridadi sekalipun. Bahkan melihat juga
Paserbumi berkonvoi walau masih dalam jumlah yang sedikit. Persiba pun
juga pernah saya tonton, sayang sekali sudah di divisi 1, sudah pindah
dari dwi windu bantul. Begitulah keasyikan menikmati permainan sepakbola
tanpa memperhatikan keberagaman perbedaan kesukaan tim favorit. Sangat
setuju sekali dengan pernyataan Walikota, Pak Herry bahwa salah satu
tujuan PSIM juga mampu sukses membina suporter yang juga merupakan wadah
sosial-kemasyarakatan, terutama ajang persatuan anak muda Jogja.
Sudah
menjadi kenyataan kalau kerusuhan hanyalah menimbulkan kerugian semata.
Pak Presiden Brajamusti, Eko Satrio Pringgodani pun pernah berujar
bahwa kalau dengan Slemania (utara), Pasoepati (timur), kita bermusuhan
dan seringkali diintervensi setiap mengadakan tour, maka harus lewat
mana lagi kalau seperti Magelang (Simolodro), Cilacap (Lanus) juga ikut
kita musuhi?
Sepakbola telah menjadi bagian dari kehidupan, salah
satunya bagi anak muda. Konon, Indonesia menjadi no.3 setelah Brasil dan
Jerman dalam antusiasme penonton sepakbola. Mungkin di negara lain,
kerusuhan suporter atau yang kita kenal dengan hooliganisme bukanlah
sesuatu yang baru. Di Brazil, bahkan seperti perang narkoba dan bandar
mafia judi yang menggunakan senapan dan pistol. Di Negara-negara Balkan
yang notabenenya negera eks Fasis dan komunis pun mengalami pertumbuhan
kerusuhan suporter yang kacau (dapat dibaca selengkapnya di Buku The
Land of Hooligans). Namun, setidaknya ini harus menjadi pelajaran bahwa
anekdot “di luar negeri yang sepakbolanya maju saja masih sering terjadi
kerusuhan, masa kita tidak boleh?” adalah anekdot yang slaah kaprah.
Sebaliknya, menjadi suporter memamg wajib militan dan antuasias, tetapi
tetap mengakar pada budaya, sopan, dan santun tidak merugikan sesama.
Mungkin saya hanya sebagian kecil suporter sepakbola Indonesia yang
beruuntung karena bisa menimba ilmu di universitas yang beragam adat dan
asal muasal mahasiswa dari berbagai penjuru tanah air. DI sana,
aremania, bonek, the jack, viking, termasuk saya dengan slemania dan
pasoepati pun terbilang aman-aman saja bahkan tetap menjadi teman.
Mungkin itulah suatu keberuntungan saya yang belum bisa dinikmati oleh
oranglain. Seandainya mereka juga dalam kondisi dan situasi seperti ini,
mereka akan semakin bisa memaknai kehidupan keberagaman ini tanpa harus
melakukan hujatan dan teror. Merea juga teman. Ironis apabila suatu
saat meilihat suporter misuh “pasoepati jan**k” tetapi dia belum pernah
menikmati atmosfer Manahan dan keadaan masyrakat Solo yang sebenarnya.
Mungkin sejarah memang mengatakan ada kesenjangan sejak era Pakubuwono
dan Hamengkubuwono era pra kemerdekaan. Namun sungguh sempit sekali
landasan pemikiran kita jika hanya berpegang teguh pada hal itu.
Jika
semua berpikir demikian, rusak sudah tanah air beta yang sudah kita
beri nama Republik ini. Akan banyak terjadi perpecahan dimana-mana
terkait dengan etnis, budaya, dan kewilayahan. Biarkanlah yang pernah
dintervensi, diinjak harga dirinya , atau bahkan dicelakai oleh suporter
lain menjadi dendam kesumat pribadinya, bukan menyalurkan hasratnya
untuk mengajak teman-temannya yang lain untuk menghujat suporter lain
tersebut. Mungkin penyebabnya, suporter lain pun seperti teman-teman
dari Slemania dan Pasoepati juga memandang dendam seperti demikian,
akibatnya sama-sama menyebar ke anak-anak dan generasi selanjutnya
sehingga pertikaian ini pun tak akan pernah padam.
Saya pernah
menonton Persija vs PSS, Persib vs PSS tetapi untuk melihat atmosfer
sepakbola yang diwarnai dengan atraktifitas suguhan suporter The Jack
maupun Viking dan Bobotoh. Tetapi saat perjalanan pulang, saya dan teman
diintervensi dan diludahi oleh oknum Slemania, tetapi dalam hati
biarlah mereka menyimpan dendamnya untuk sesuatu yang benar dikemudian
hari dan sadar akan perbedaan yang sesungguhnya itu adalah sesuatu yang
membuat kita menjadi istimewa. Pantaslah kita meniru dari beberapa
suporter yang mungkin kita anggap benci. Kita bisa meniru atraktifitas
dan kekompakan memainkan syal dan warna biru, serta mengumandangkan lagu
oleh penonton di seluruh penjuru stadion ala Aremania. Kita juga pantas
meniru Bonek yang selalu mendukung tim Persebaya dimanapun mereka
berada. Kita bisa meniru Slemania dalam menjalin hubungan relasi
terhadap sesame suporter lain, dan sikap-sikap lain yang perlu kita buka
hati kita lebih lapang sebagai ajang untuk menguji dan melihat
kedewasaan kita untuk mengubah image yang lebih baik lagi. Sungguh miris
apabila kita disamakan dengan anak SMA yang masih kental dengan geng
sekolahnya, lalu ketika berbaur satu kuliah dengan geng musuh, malah
menjadi akur. Bedanya, akankah ke-akur-an itu bisa diwujudkan oleh
suporter Indonesia ini dalam suatu wadah yang tepat dan efektif? Polemik
menuntut Nurdin Halid akhir-akhir sepertinya bisa menyatukan kekuatan
suporter, dan seharusnya menjadi potensi besar menyatukan tekad
perdamaian demi kemajuan persepakbolaan Nasional. Amien
PASOEPATI nganti tumekaning Pati
BalasHapus#Mataram is red not blue. Blue is Film (Blue Film).
VIKING Holigans'33 Senggol Benjol
BalasHapusAs mbuh ra mutu..gara2 bola jd musuhan kampungan smua lo pada
BalasHapusSebaiknya DIY hanya satu saja nanti mainya giliran jogja sleman babtol !
BalasHapuspsim boss
BalasHapus